Tubaba,indonewsmedia.com – Di ujung jalan tanah Tiyuh Gunung Sari, Kecamatan Lambu Kibang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, provinsi Lampung berdiri rumah tua yang seakan menyerah pada usia. Dinding papan sudah lapuk, cat mengelupas, dan atap bocor di berbagai sudut. Di situlah Rubini, 68 tahun, menghabiskan hari-harinya sejak suaminya meninggal setahun lalu.
Begitu melangkah masuk, aroma apek bercampur bau kayu lembap menyambut. Di salah satu sudut, terbentang tikar anyaman yang robek. Saat hujan, air menetes dari langit-langit, memaksa Rubini memindahkan tikarnya ke sudut yang sedikit lebih kering.
“Kalau hujan deras, saya khawatir rumah ini ambruk,” ujarnya pelan. Rabu 13/8/2025.
Ironis, di tengah maraknya program bantuan sosial dan kucuran dana desa, Rubini mengaku nyaris tak pernah tersentuh bantuan. Satu-satunya yang pernah ia terima hanyalah Rp300 ribu dari program bantuan Covid-19, itu pun beberapa tahun lalu.
“Dulu pernah ada yang mengajukan bantuan, tapi sampai sekarang tidak ada kabarnya,” ungkapnya, menahan getir.
Sehari-hari, Rubini bertahan hidup dari kiriman seadanya dari anaknya. Kadang hanya singkong rebus atau segelas teh hangat yang mengganjal perut. Harapannya sederhana: bisa makan layak setiap hari dan memperbaiki rumahnya agar tak lagi takut roboh.
Kisah Rubini adalah potret nyata ketimpangan. Saat sebagian warga menikmati hasil pembangunan, masih ada rakyat kecil yang hidup di bawah garis kemanusiaan. Pertanyaan yang menggantung: sampai kapan aparatur tiyuh dan pemerintah daerah menutup mata, membiarkan warganya hidup dalam kesunyian yang memedihkan?(H/N).












